all about music

Senin, 09 Januari 2012

Sekilas tentang gamelan


Elsje Plantema tetap melihat manfaat gamelan bagi para mahasiswanya. Bahkan menabuh gamelan itu disebutnya sebagai pelajaran yang berguna sekali. Itu karena, berlainan dengan musik Barat yang mereka tekuni sehari-hari, dalam belajar menabuh gamelan, para mahasiswa diwajibkan untuk menghafal.
“Tidak pakai notasi,” tegas Elsje. “Kalau pakai notasi boleh, tapi setelah belajar. Kalau sudah di rumah mau bikin notasi silahkan.”
Ia lebih senang kalau mahasiswanya membuat notasi sendiri di rumah, sebab selesai belajar menabuh gamelan para mahasiswa ini langsung menekuni jenis musik lain. Notasi bikinan sendiri itu bisa digunakan sebagai pegangan kalau kembali menekuni gamelan. “Tapi tidak kalau sedang menabuh,” tegas Elsje.
Kalau mengajar gendhing tertentu, misalnya Ketawang Puspåwarnå, Elsje mengajarkan balungan dengan mendengarkan bonang. Ia lalu menyanyikan melodi yang ditabuh bonang. Semua ikatan yang ada antara ricikan-ricikan juga diajarkannya. Itu berarti mahasiswa harus mendengar masing-masing ricikan itu.
Atau kalau ada plèsètan kenong, mahasiswa juga diminta mendengarkannya, dan bereaksi.
Elsje merasa gamelan bisa menjadi semacam obat tenang. Dalam musik Barat, kalau perasaan ritme atau irama tidak kuat, maka seseorang cenderung menabuh terlalu cepat. Kalau itu sampai terjadi dalam gamelan, maka musiknya akan rusak. Berarti seseorang harus menabuh gamelan dengan tenang.
“Kita harus tenang,” tegas Elsje. “Duduk juga harus tenang dan dalam keadaan seperti itu saya rasa pelajaran gamelan adalah kesempatan bagus untuk belajar tenang dan juga bekerjasama”.
Belajar berarti saling mendengar, demikian Plantema berlanjut, juga tanpa perasaan bahwa instrumen yang saya tabuh penting sekali. Tapi memang, Elsje Plantema mengakui ada satu instrumen penting, itulah gong ageng.
Dalam satu gendhing, saat penabuh gong ageng paling jarang dibandingkan dengan instrumen lain. Tapi paling penting. Terus instrumen yang paling sering ditabuh, sebetulnya kurang penting. Gendèr juga penting sekali. Tapi Elsje tetap berpendapat seseorang tidak bisa bilang penabuh nomer satu ini, nomer dua itu.
Semua sama rata.
Suara jelek
Dalam meminta mahasiswa menghafal gendhing yang dipelajarinya, Elsje Plantema selalu mulai dengan memberi contoh, kemudian tiap-tiap instrumen mendapat perhatian khusus, dicoba satu per satu sampai baik. Kalau masih ada mahasiswa yang minta mengulang satu nomer lagi, maka Elsje meneruskan permintaan itu kepada pemain lain, kalau semua setuju maka latihan menabuh satu karya gendhing akan diteruskan.
Begitulah, semua diulang-ulang sampai mahasiswa pengikut mata kuliah gamelan benar-benar bisa menabuh. Di sini sang ibu dosen gamelan menandaskan pentingnya kebersamaan.
Yang jelas tidak ada satu pemain tertentu yang penting sebagai solis. Mungkin untuk bukå memang butuh bonang atau gendèr. Jadi bisa dibilang pada saat itu menabuh sendiri. Tetapi itu tidak berarti ini solo, itu hanya pembukaan. Apalagi cuma sebentar, terus kendhang masuk, lalu semua instrumen lain juga masuk.
Jadi solo itu hanya beberapa detik.
Dalam menabuh gamelan selama beberapa detik itu seseorang tidak boleh membaca notasi. Dia harus belajar dengan contoh dan meniru contohnya. Tapi itu tidak berarti Elsje Plantema anti notasi.
“Saya juga pakai notasi untuk penjelasan. Kalau mau menjelaskan teknik bonang atau peking, praktis sekali pakai notasi, sebab bisa dilihat.” Tapi tidak untuk praktek menabuh gamelan. Elsje tidak akan pernah membagi-bagi notasi sebelum menabuh.
“Pasti suaranya jelek,” katanya. Menurut pengalamannya, kalau ada notasi para mahasiswa pasti hanya akan menekuni notasi, mereka akan menabuh secara individual. Padahal dalam menabuh gamelan yang diperlukan adalah kontak dengan pemain lain.
Notasi itu cuma akan mengalihkan perhatian yang sebenarnya harus diarahkan pada mendengar dan merasakan bunyi-bunyi instrumen lain.
Kesulitan besar
Tidak jarang Elsje menghadapi mahasiswa yang belum-belum sudah mengeluh tidak bisa menghafal. Dia tahu keluhan macam itu tidak benar. “Itu hanya anggapan, atau belum percaya diri,” katanya. Setiap orang bisa menghafal. “Ada yang cepat, ada yang sedeng, ada yang pelan, tapi itu juga tidak apa-apa,” katanya lagi.
Dalam rombongan gamelan, kalau ada seorang yang agak pelan maka yang lain harus sabar, sampai semua bisa. Kesabaran itu akan membawa hasil yang jauh lebih baik.
Gendhing itu tidak hanya akan dibawa masuk ke dalam telinga, tapi tangan dan badan juga akan dibiasakan dengan motoriknya. Dengan begitu selesai liburan panjang, dua bulan, pada bulan September, biasanya Elsje melihat para mahasiswa itu berpikir, “wah saya lupa semua”.
Itu juga tidak betul. Sebab sebenarnya gendhing itu sudah ada di dalam telinga dan badan, jadi setelah mulai menabuh mereka biasanya bilang, “oh ya, oh ya!” Dan ternyata semua masih ada!
“Tapi, kalau main hanya dari notasi dan notasinya hilang, maka pasti mereka akan kesulitan besar. Tidak bisa menabuh,” ujar Elsje Plantema. Dalam mengajar ia ingin menyimpan karawitan itu di dalam kalbu mahasiswanya, tidak di dalam buku.
Kalau buku bisa hilang atau ketinggalan atau dicuri. Tapi apa saja yang ada di dalam diri seseorang tidak akan hilang.
Di Konservatorium Amsterdam Elsje Plantema mengajar bukan hanya mahasiswa dari Belanda, banyak juga dari negara-negara lain. Mereka belajar gamelan bukan sebagai mata kuliah wajib, tapi mata kuliah pilihan. Tahun ini ada dua mahasiwa dari Yunani, empat dari Jepang, Prancis, Belgia, Inggris.
Ini faktor lain yang menyenangkannya. Karena tugas utamanya adalah menyatukan mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia dalam satu grup gamelan yang kompak. Elsje suka sekali melihat proses itu tiap tahun.
Pertama kali masuk mereka belum saling kenal dan belum komunikasi, tapi setelah mengikut kuliah menabuh gamelan selama tiga bulan, mereka sudah bisa dikatakan menjadi satu grup.
Tidak logis
Elsje Plantema mengajar gendhing lanceran yang ada vokalnya, misalnya Witing Klåpå, Gugur Gunung, tapi juga gendhing yang berisi imbalan. Witing Klåpå, Gugur Gunung punya imbalan saron, kemudian keplok tangan (tepuk tangan), dan vokal. Dengan variasi yang beragam ini mahasiswa biasa tertarik.
Menurutnya, kebanyakan mahasiswa yang memilih gamelan biasanya pintar dalam bidang musik.
Selain itu, Elsje juga memperkenalkan tangga nada sléndro dan pélog, ditambah beberapa struktur lain. Artinya, tidak hanya lanceran, tapi juga ketawang, ladrang. Ia lebih suka ketawang yang tenang seperti puspanjålå. Yang tidak dilupakannya adalah karya terkenal Ki Nartosabdho: Swårå Suling.
Elsje Plantema tidak menerjemahkan semua istilah bahasa Jawa tadi, ketika mengajarkannya pada para mahasiswa. “Untuk apa saya terjemahkan lanceran atau ketawang atau ladrang? Itu tidak logis.” Artinya para mahasiswa ini harus tahu. Juga pada ujian mereka harus bisa menjelaskan apa itu lanceran, bagaimana strukturnya dan seterusnya.
“Setiap murid harus tahu. Kalau lanceran berarti kempulnya begini, kenong seperti itu, bonang seperti itu,” tandasnya. Kalau tidak tahu maka komunikasi akan sulit. “Bagaimana kalau saya minta mahasiswa menabuh slenthem, kalau dia belum tahu apa itu slenthem?”
Professor Teeuw Prijs
Hari-hari ini, suka cita Elsje Plantema tidak juga berakhir, bahkan seolah tanpa batas. Ia menerima anugerah hadiah Professor Teeuw Prijs. Baginya ini adalah seperti realisasi apa yang dicoba untuk disampaikannya dalam berkarya. Ini adalah juga pengakuan bagi 40 tahun berkutat, mendalami dan menekuni gamelan.
Tidak disangkanya semua itu sudah 40 tahun. Ia masih ingat benar ketika pada bulan Desember 1969 dia pertama kali mendengarkan gamelan. Bukan pertunjukan tapi hanya rekaman. Jantungnya berdegub keras. “Saya tertarik. Saya ingin tahu itu semua. Istilah gamelan saja saya belum tahu. Tapi telinga dan badan saya bereaksi dengan hebatnya. Sampai saya pikir, saya harus menabuh musik itu.”